Sabtu, 13 Desember 2008

GANGGUAN PARU

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fungsi utama paru adalah mengeluarkan karbon dioksida dari darah dan mengganti oksigen. Dinding dada dan diafragma berfungsi sebagai pompa untuk menggerakkan udara masuk-keluar paru sehingga dapat terjadi pertukaran gas di sepanjang membran alveolokapiler. Sehingga, kesempatan timbulnya penyakit di sistem oragan penting ini sangat banyak. Pendekatan yang lazim dalam studi tentang patologi paru, adalah dengan mengelompokkan panyakit paru menjadi penyakit yang mengenai saluran napas, interstitium, dan sistem vaskular paru. Pembagian menjadi kompartemen terpisah ini, jelas bersifat artifisial karena dalam kenyataannya, penyakit pada satu kompartemen umumnya disertai perubahan morfologi dan fungsi pada kompartemen yang lain. (Maitra dan Kumar, 2007)
Paru sebagai organ dengan permukaan yang luas, aliran darah yang cepat dan epitel alveolar yang tipis merupakan tempat kontak yang penting dengan substansi yang berasal dari lingkungan. Penyakit paru yang ada saat ini dapat disebabkan oleh banyak factor. Dan salah satu perhatian atas dampak pajanan bahan-bahan berbahaya di tempat kerja dan lingkungan terhadap kesehatan sejak beberapa dekade terakhir tampak makin meningkat karena peranannya terhadap gangguan fungsi paru. Penyakit paru kerja penting dikenali karena disebabkan oleh paparan debu, asap, atau zat-zat kimia yang nantinya dapat menggangu fungsi normal paru. Pajanan bahan berbahaya di tempat kerja dapat menyebabkan atau memperburuk penyakit seperti asma, bronkiektasis, Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), kanker paru, dermatitis atau tuberkulosis. Diperkirakan jumlah kasus baru penyakit akibat kerja dan paparan alergen di Amerika Serikat 125.000 sampai 350.000 kasus pertahun dan terjadi 5,3 juta kecelakaan kerja pertahun. Selain disebabkan oleh pajanan lingkungan, penyakit paru juga dapat ditimbulkan oleh infeksi berbagai mikroorganisme dan virus. (Wahyuningsih et al, 2003)
Pada umumnya, penyakit paru dapat menimbulkan tanda-tanda dan gejala umum maupun tanda dan gejala pernapasan. Tanda dan gejala pernapasan mencakup batuk, sputum yang berlebihan, atau abnormal, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada. Sedangkan yang termasuk tanda dan gejala umum adalah sianosis, jari tabuh, dan osteoartropati hipertrofik, serta manifestasi lain yang berkaitan dengan pertukaran gas yang tidak adekuat. (Wilson, 2005)
B. Rumusan Masalah
Permasalahan Utama
Seorang perempuan 20 tahun merasakan batuk yang tidak berkurang sejak 3 hari yang lalu. Batuk yang dirasakan mula-mula tidak disertai dahak, akan tetapi sejak tadi pagi mulai batuk berdahak, bahkan sekarang mendadak menjadi sesak napas. Selain itu, penderita juga mengalami demam. Sebelumnya penderita membersihkan rak-rak buku lama ayahnya yang penuh dengan debu. Penderita segera datang ke dokter keluarganya, disana dokter memeriksa pasien untuk mendapatkan gejala dan tanda respirasi lainnya. Pada pemeriksaan auskultasi penderita ditemukan wheezing yang jelas. Dokter tersebut ingat, kakak penderita juga menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen toraksnya menunjukkan gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Selanjutnya dokter memberi obat pada penderita tersebut 2 macam obat yang berbeda fungsinya.
Permasalahan Sekunder
1. Bagaimana anatomi, dan fisiologi dari sistem pernafasan?
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya batuk, dahak, sesak napas, demam dan wheezing?
3. Mengapa batuk yang awalnya tidak berdahak bisa menjadi batuk berdahak dan sesak napas?
4. Apa penyakit yang sebenarnya diderita oleh pasien ?
5. Apakah terdapat keterkaitan antara penyakit pasien dengan penyakit kakaknya?
6. Apakah batuk yang diderita pasien disebabkan oleh debu?
7. Apa penyakit kronik yang diderita kakak pasien?
8. Bagaimana mekanisme timbulnya honeycomb appearance? Penyakit apa saja yang terkait?
9. 2 macam obat apa yang diberikan dokter pada pasien?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip ilmu-ilmu biomedik, klinik, perilaku, epidemiologi, dan kesehatan masyarakat pada problem klinik serta penatalaksanaan pasien penyakit dalam bidang pulmonologi dan sistem respirasi
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar yang relevan untuk memahami etiologi, patofisiologi, dan patogenesis mengenai gangguan respirasi
2. Menangani suatu permasalahan klinis secara mandiri dengan kemampuan menetapkan diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
3. Mampu menjelaskan secara rasional dan ilmiah dalam menentukan penanganan pasien baik klinik, epidemiologis, farmakologis, fisiologis, dan perubahan perilaku
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai upaya memahami dasar homeostatis tubuh dari tingkat sel hingga sistem organ tubuh.
2. Sebagai upaya memahami mekanisme terjadinya gangguan respirasi seperti timbulnya batuk, sesak nafas, dan wheezing
3. Sebagai langkah upaya dalam memahami etiologi dan menifestasi klinis gangguan respirasi
4. Untuk memahami langkah-langkah dalam penegakan diagnosis, pemeriksaan penunjang dan pengobatan yang terkait dengan gangguan respirasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan
1. Anatomi Sistem Pernapasan
a. Jalan Napas
Jalan napas atau sistem konduksi terdiri atas rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus berfungsi menghantarkan udara dari atmosfer ke dalam alveolus. Bronkus terbagi secara dikotomi, lambat laun mengecil dan berdinding lebih tipis pada saat udara melintas dari hilum menuju perifer. Bila dinding-dinding tersebut sudah tidak bertulang rawan, jalan napas ini dinamakan bronkiolus. Bronkiolus berdiameter 2 mm, memiliki dinding-dinding otot polos, dan berakhir pada alveolus. Epitel pelapis adalah kolumner bersilia di dalam jalan napas besar dan kuboid bersilia di dalam bronkiolus distal. Sel-sel goblet penghasil mukus juga ada, khususnya di dalam bronkus besar. Sebaran sel-sel granul kecil juga terdapat pada membran basal diantara sel-sel epitel dalam bronkus. Sel-sel ini merupakan sel neuroendokrin yang mengandung serotonin, bombesin, dan polipeptida lainnya. Sel-sel klara kecil berbentuk kubah di dalam bronkiolus terminal menyekresi protein yang melapisi jalan napas kecil. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
b. Parenkim paru
Terdapat dua unit parenakim paru yaitu lobulus paru dan asinus paru. Lobulus paru ditunjukkan oleh struktur yang berasal dari bronkiolus kecil terdiri atas 5-7 bronkiolus terminal dan struktur-struktur yang lebih distal. Sedangkan asinus paru merupakan struktur yang muncul dari bronkiolus terminal tunggal dan terdiri atas bronkiolus respiratorik dan alveolus. Bronkiolus respiratorik dilapisi oleh epitel kuboid yang ikut berperan dalam pertukaran gas. Bronkiolus respiratoris tersebut menuju ke dalam duktus alveolus. Sakus alveolus timbul sebagai kantung-kantung luar sakular dari duktus alveolus dan bronkiolus respiratorik. Dinding alveolus memiliki tebal 5-10 mikron dan dilapisi oleh sel pneumosit tipe II yang merupakan penghasil surfaktan dan berproliferasi cepat bila terjadi cedera alveolus. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
c. Pleura
Paru dikelilingi oleh sel-sel mesotel yang membentuk pleura visceralis dan nantinya akan bersambung dengan batas dalam dinding dada (pleura parietalis) pada hilum paru. Rongga pleura dilumasi oleh lapisan tipis cairan pleura yang memungkinkan gerakan paru sesuai dinding dada.
d. Pasokan darah
Paru memiliki pasokan darah ganda. Cabang-cabang arteriola bronkus mengikuti pohon bronkus dan memiliki fungsi nutritif. Arteri paru terbagi untuk menghasilkan jejaring kapiler, suatu fungsi primer tempat terjadinya pertukaran gas.
2. Fisiologi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan atau sistem respirasi memiliki peran/ fungsi untuk menyediakan oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbon dioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi penyediaan oksigen adalah sebagai sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok terus menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus segera dikeluarkan dari tubuh. CO2 ini bila tertumpuk dalam darah akan menurunkan pH sehingga menimbulkan keadaan asidosis yang dapat mengganggu faal badan bahkan dapat menyebabkan kematian. Proses respirasi berlangsung beberapa tahap yaitu:
a. Ventilasi, merupakan proses pergerakan udara kedalam dan keluar paru. Proses ini terdiri atas inspirasi dan ekspirasi.
- Inspirasi
Inspirasi yaitu pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Inspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan udara luar. Dan tekanan ini berkisar antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Proses ini diawali dengan kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna. Kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan rongga toraks mengembang dan volume rongga membesar. Akibatnya, tekanan intra pleura menurun dan paru mengembang. Karena pada inspirasi, terjadi penurunan tekanan intraalveol, maka udara di atmosfer akan masuk ke dalam paru.
- Ekspirasi
Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru. Ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi dari tekanan udara luar. Ekspirasi merupakan suatu proses pasif yang disebabkan oleh sifat elastisitas dinding dada dan elastic coil paru. Proses ini diawali dengan relaksasi otot diafragma dan kontraksi otot interkostalis interna. Hal ini akan menyebabkan volume rongga toraks mengecil. Akibatnya, tekanan intra pleura meningkat dan paru mengecil. Karena pada ekspirasi, terjadi peningkatan tekanan intraalveol, maka udara dalam paru bergerak keluar paru.
b. Pernapasan Luar, merupakan proses pertukaran gas di dalam alveol dan darah
c. Transportasi gas dalam darah
d. Pernapasan Dalam, merupakan proses pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan
e. Pernapasan Seluler, merupakan proses metabolisme penggunaan oksigen didalam sel serta pembuatan karbondioksida
B. Manifestasi Penyakit Paru
1. Manifestasi Pulmoner
Berupa keluhan atau tanda penyakit, baik akibat langsung (primer) maupun akibat tidak langsung (sekunder) dari proses yang ada di paru. Manifestasi ini dapat berupa:
a. Manifestasi pulmoner primer, merupakan keluhan/ tanda yang ditimbulkan langsung oleh proses setempat.
- Keluhan, merupakan ha-hal yang dirasakan oleh penderita serta dapat disampaiakan pada dokter pada waktu melakukan anamnesa. Keluhan ini pada dasarnya dapat berupa batuk dengan atau tanpa dahak/ darah; sesak napas dengan/tanpa berbunyi; dan nyeri dada
- Tanda penyakit, merupakan perubahan-perubahan jaringan paru, pleura atau dinding dada yang ditimbulkan oleh penyakit yang dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik. Tanda penyakit meliputi perubahan pada bentuk/ besarnya toraks, pergerakan pernapasan, dan penghantaran getaran suara
b. Manifestasi pulmoner sekunder, merupakan perubahan akibat kelainan paru yang dapat menimbulkan gangguan dalam pertukaran gas, dan peningkatan pembuluh darah
2. Manifestasi ekstrapulmoner
Berupa perubahan-perubahan atau kelainan yang terjadi di luar paru akibat dari penyakit yang ada di paru
- Metastasis, merupakan penyebaran penyakit paru ke luar paru seperti kanker paru menyebar ke tulang, hati, otak, dan organ tubuh lainnya.
- Non metastasis, merupakan gejala sistemik yang dapat berupa gejala umum (panas, anoreksia, rasa lelah) dan gejala khusus (jari tabuh, osteoartropati).
C. Patofisiologi
1. Refleks Batuk
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi peradangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah. (Wilson, 2005)
Bronkus dan trakea memiliki respon yang sangat peka terhadap benda asing yang masuk ataupun iritasi di tempat tersebut sehingga dapat menimbulkan refleks batuk. Laring dan karina (tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus) sangat peka, dan bronkiolus terminalis serta alveolus terutama peka terhadap rangsang kimia korosif seperti gas sulfur dioksida dan klor. Impuls saraf aferen dari saluran pernapasan terutama berjalan melalui nervus vagus ke medulla oblongata. (Guyton dan Hall, 1997)
2. Sesak Napas
Sesak napas merupakan keluhan subjektif dari seorang yang menderita penyakit paru. Keluhan ini mempunyai jangkauan yang luas, sesuai dengan interpretasi seseorang mengenai arti sesak napas tadi. Pada dasarnya, sesak napas baru akan timbul bila kebutuhan ventilasi melebihi kemampuan tubuh untuk memenuhinya. Sedangkan kebutuhan ventilasi dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti aktivitas jasmani yang bertambah atau panas badan yang meningkat. Patofisiologi sesak napas akut dapat dibagi sebagai berikut:
- Oksigenasi jaringan menurun
- Kebutuhan oksigen meningkat
- Kerja pernapasan meningkat
- Rangsangan pada sistem saraf pusat
- Penyakit neuromuskuler
3. Wheezing
Wheezing merupakan suara napas tambahan yang bersifat continue, musical, nada tinggi, dan durasinya panjang. Wheezing dapat terjadi bila aliran udara secara cepat melewati saluran napas yang mendatar atau menyempit/ hampir tertutup. Wheezing secara umum disebabkan oleh obstruksi parsial atau penyempitan jalan napas. Wheezing yang terdengar menyeluruh di lapangan paru disebabkan oleh asma, bronkitis kronik, Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), dan penyakit jantung kongestif. Pada asma, wheezing hanya terdengar pada ekspirasi atau di antara dua fase siklus napas. Wheezing yang terdengar hanya pada lokasi tertentu menandakan terdapat obstruksi parsial pada bronkus, misalnya benda asing atau tumor. Wheezing ini bisa terjadi pada saat inspirasi, ekspirasi, atau keduanya. (Reviono et al, 2008)
D. Klasifikasi Penyakit dengan Manifestasi Klinis Honeycomb Appearance
1. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi abnormal dan tidak pulih pada pohon bronkial proksimal dari bronkiolus terminalis. Bronkiektasis terjadi akibat infeksi kronis yang menyebabkan kerusakan parenkim, fibrosis, dan dilatasi abnormal bronkus rusak yang permanen.
Bronkiektasis adalah penyakit batuk kronis, bisaanya menghasilkan sejumlah besar sputum berbau busuk, dan demam episodik. Infeksi kronis umumnya menyebakan jari tabuh dan hiperglobulinemia serta dapat menyebabkan amilosis sekunder.
Gambaran paru yang terkena bronkiektasis berupa bronkus dan bronkiolus yang berdilatasi dapat berbentuk silindris, fusiformis atau sakulardan menjadi lebih mencolok dengan adanya kerusakan ekstensif dan fibrosis pada parenkim paru yang terletak diantaranya (honeycomb apperance). Salah satu gambaran diagnostik penting lainnya adalah ditemukannya bronkus bear di dekat pleura. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
2. Penyakit Paru Interstitial Difus Kronis
Penyakit paru interstitial kronis adalah kelainan bukan infeksi yang dicirikan oleh radang difus dan fibrosis yang menyerang interstitium septum alveolus. Tahap akhir menyebabkan destruksi parenkim ekstensif, fibrosis, dan sering membentuk ruang kista abnormal (honeycomb appearance). Gambaran klinis pasien yang menderita penyakit ini akan mengalami dispnea, takipnea, dan sianosis. Abnormalitas fungsi paru bertipe restriktif, dengan berkurangnya kapsitas vital. Penebalan membran alveolus mempengaruhi difusi oksigen yang menyebabkan hipoksemia. Hal ini menstimulasi pusat pernafasan yang mengakibatkan peningkatan ventilasi.
E. Asma Bronkiale
Asma bronkial adalah penyakit yang meningkatkan responsivitas pohon trakeobronkial terhadap berbagia stimulus. Pajanan terhadap stimulus menyebabkan kontraksi otot polos bronkiolus (bronkospasme). Bronkospasme menyebabkan obstruksi aliran udara (maksimal pada ekspirasi) dan mengi bernada tinggi. Ekspirasi memanjang karena obstruksi aliran udara. Serangan asma bisaanya berlangsung singkat dan pulih sama sekali. Asma bronkial dicirikan oleh serangan episodik dispnea dan mengi. Batuk kering bisaanya terjadi selama serangan akut dan dapat menghasilkan sputum kental, lengket, sedikit, yang berserabut, membentuk silinder bronkiolus. Pada serangan berat sering terdapat infeksi bakteri sekunder.
Obstruksi bronkiolus pada asma disebabkan oleh kontraksi otot polos, sumbat mukus, dan edema peradangan yang akan bersifat maksimal pada saat ekspirasi. Hal ini menyebabkan jebakan udara distal dan distensi alveolus yang akan berakibat pada penurunan kapasitas vital respirasi. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam kasus skenario, awal permasalahan terjadi ketika pasien 3 hari yang lalu membersihkan rak yang penuh debu dan mulai timbul batuk. Sehingga dalam hal ini, debu merupakan alergen yang nantinya akan menjadi antigen asing yang masuk dalam tubuh. Antigen (debu) ini bila ukuran partikelnya >5 mikrometer, akan ditangkap oleh vibrissae (rambut kasar) dalam rongga hidung. Namun, bila ukurannya 1-2 mikrometer, partikel tetap bisa masuk dalam saluran pernapasan dan nantinya akan terjerat pada silia di laring ataupun dalam trakea. Dan dalam hal ini, terdapat mekanisme refleks batuk yang bertujuan untuk mengeluarkan partikel asing yang berada dalam trakea/ laring (dimana kedua tempat tersebut bersifat sangat sensitif terhadap berbagai rangsangan luar yang masuk).
Pada trakea dan bronkus, selain terdapat silia juga ada mukus. Sekresi mukus ini dilakukan oleh sel-sel goblet yang melekat pada epitel pseudokompleks kolumner. Produksi mukus ini bermanfaat dalam melekatkan partikel-partikel asing halus yang masuk ke saluran napas bawah dan tidak bisa keluar melalui mekanisme batuk bisaa. Setelah partikel asing yang masuk terjerat dalam mukus, akan ada mekanisme lanjut berupa refleks batuk berdahak. Sehingga batuk berdahak merupakan refleks batuk yang disertai dengan pengeluaran sputum/ dahak yang berasal dari akumulasi mukus dengan lekosit polimorfonuklear (bila sudah timbul rekasi imunologis).
Secara umum, refleks batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi peradangan trakeobronkial. Mekanisme batuk diawali ketika terangsangnya reseptor saraf aferen yang akan meneruskan impuls menuju nervus vagus di medula oblongata. Dan rangsangan balik yang timbul berupa : Pertama, kira-kira 2,5 liter udara diinspirasi. Kedua, epiglottis menutup, dan pita suara menutup erat untuk menjerat udara di dalam paru-paru. Ketiga, otot perut berkontraksi dengan kuat mendorong diafragma, sedangkan otot-otot ekspirasi lainnya seperti interkostalis internus, juga berkontraksi dengan kuat. Akibatnya, tekanan dalam paru meningkat sampai 100 mm Hg atau lebih. Keempat, pita suara dengan epiglotis sekonyong-konyong terbuka lebar, sehingga udara bertekanan tinggi dalam paru meledak keluar. Selanjutnya, penekanan kuat pada paru yang menyebabkan bronkus dan trakea menjadi kolaps sehingga bagian yang tidak berkartilago ini kolaps berinvaginasi ke dalam, akibatnya udara yang meledak tersebut benar-benar mengalir melalui celah-celah bronkus dan trakea.
Pada kasus di skenario, debu yang masuk sudah mencapai saluran napas bagian bawah dan dianggap sebagai suatu antigen asing. Antigen ini nantinya akan memicu serangkaian reaksi imunologis seperti kemotaksis dan fagositosis lekosit polimorfonuklear ke tempat peradangan. Adanya reaksi peradangan/ inflamasi ini nantinya akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi yang bersifat endogen-pirogen, seperti IL-1 (interleukin 1) dan prostaglandin. Dan kedua mediator inflamasi inilah yang memegang peranan penting untuk meningkatkan pusat regulator termostat tubuh di hipotalamus. Sehingga, peningkatan termostat tubuh inilah yang menyebabkan timbulnya demam sistemik.
Selain itu, dalam kasus di skenario, penderita juga mengeluh mengalami sesak napas yang semakin lama makin terasa berat. Dalam hal ini, sesak napas yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, sesak napas dapat disebabkan oleh kebutuhan oksigen yang meningkat akibat reaksi demam yang juga diderita. Yang kedua, sesak napas dapat juga timbul akibat kerja pernapasan meningkat akibat peningkatan produksi CO2 yang nantinya akan memicu reaksi hiperventilasi sehingga akan berakibat pada peningkatan oksigen. Dan penyakit paru dengan sesak napas tipe ini adalah asma bronkial, bronkitis dan bronkiolitis.
Pada dasarnya, penegakan diagnosis penyakit paru memerlukan data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam kasus di skenario, diagnosis pasti belum bisa ditegakkan karena hal ini mulai bisa ditegakkan setelah pasien menjalani pemeriksaan lanjutan yang berupa pemeriksaan laboratorium seperti foto toraks, pemeriksaan sputum, dan lain sebagainya. Namun, dalam kasus di skenario terdapat dugaan bahwa penderita mengalami asma bronkial. Hal ini diperjelas dengan timbulnya batuk berdahak, sesak napas dan wheezing yang menandakan bahwa terjadi penyempitan saluran pernapasan.
Pada pemeriksaan fisik pasien, didapatkan adanya wheezing. Wheezing merupakan suara napas tambahan yang bersifat continue, musical, nada tinggi, dan durasinya panjang. Wheezing dapat terjadi bila aliran udara secara cepat melewati saluran napas yang mendatar atau menyempit/ hampir tertutup. Wheezing umumnya disebabkan oleh obstruksi saluran napas akibat timbunan mukus abnormal dari hasil reaksi inflamasi. Timbunan mukus ini disebabkan oleh reaksi mediator inflamasi serotonin terhadap sel goblet pada epitel kolumner. Sehingga, timbunan mukus ini nantinya akan menyebabkan sumbatan pada saluran napas bagian bawah (obstruksi). Dengan adanya hal ini, inpirasi pasien masih normal tetapi ekspirasi menjadi abnromal karena waktu ekpirasi memanjang akibat dorongan mukus yang tertimbun.
Dalam kasus di skenario, disebutkan bahwa dokter menyadari bahwa kakak pasien juga memiliki riwayat penyakit paru yang bersifat kronis. Penyakit paru yang diderita ini ditandai dengan timbulnya honeycomb apperance pada rontgen toraksnya tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Hal ini, menandakan bahwa kakak pasien memiliki kemungkinan untuk menderita penyakit bronkiektasis (termasuk penyakit obstruktif) atau penyakit paru interstitial difus kronik. Kedua penyakit diatas bersifat kronis yang ditandai dengan pemebntukan jaringan elastis paru menjadi jaringan fibrosa yang padat (honeycomb appearance). Pada bronkiektasis umumnya ditemukan wheezing karena penyakit ini tergolong dalam gangguan aliran udara paru. Sedangkan penyakit paru interstitial difus kronik, khususnya peneumonitis hipersensitifitas bisaanya tidak ditemukan wheezing. Dan penyakit ini tergolong dalam penyakit yang menyerang parenkim paru dan mengakibatkan paru kesulitan untuk mengembang (gangguan restriktif).
Sepertinya, antara penyakit yang diderita pasien dan kakak pasien tidak memiliki keterkaitan yang cukup jelas. Hal ini disebabkan oleh hasil pemeriksaan fisik yang cukup berlawanan (ada/ tidaknya wheezing). Namun, dugaan ini juga perlu diperjelas dalam pemeriksaan laboratorium terhadap pasien sendiri. Pada pasien dalam skenario, terdapat dugaan menderita gangguan obstruktif berupa asma bronkial. Pada dasarnya, asma merupakan suatu penyakit akibat reaksi alergi yang nantinya akan menimbulkan penyumbatan pada saluran napas. Asma bronkial pada dasarnya terbagi menjadi 3 tipe yaitu asma alergi ekstrinsik akibat reaksi hipersensitifitas tipe 1, asma intrinsik, dan asma campuran.
Dalam skenario, disebutkan bahwa dokter memberi 2 macam obat yang berbeda fungsinya. Obat ini memiliki makna yang bermacam-macam. Misalnya jika benar pasien menderita asma, dapat diberikan 2 macam obat yang mekanismenya sinergis meski secara fungsional efeknya saling berlawanan. Obat tersebut merupakan golongan adrenergik dan antikolinergik. Sedangkan dalam skenario, pemberian obat yang paling mungkin diberikan oleh dokter berupa obat antitusif dan ekspektoran. Obat antitusif bermanfaat dalam pendorongan rangsangan untuk mengeluarkan dahak. Sedangkan ekspektoran bermanfaat untuk menekan batuk. Sehingga, dari keduanya didapatkan bukti bahwa efek kedua obat saling berlawanan karena secara fisiologis penegeluaran dahak didorong lewat mekanisme batuk. Akan tetapi, secara farmakologis kedua obat tersebut bisa diberikan secara bersamaan dan memiliki efek farmakodinamik dan farmakokinetik yang efektif bila diberikan dengan dosis yang sesuai.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Diagnosis untuk pasien belum bisa ditegakkan secara pasti karena belum dilakukan pemeriksaan foto toraks atau pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan dahak mikroskopis).
2. Penegakan diagnosis penyakit paru selain memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, juga memerlukan pemeriksaan penunjang
3. Gangguan obstruktif merupakan gangguan yang terjadi pada proses aliran udara yang masuk ke paru. Umumnya gangguan ini terjadi pada bagian saluran pernapasan seperti laring, trakea atau bronkus.
4. Gangguan restriktif merupakan gangguan paru yang ditandai dengan ketidakmampuan paru untuk mengembang/ melakukan fungsinya secara optimal. Dan gangguan ini umumnya terjadi pada parenkim paru atau kolapsnya alveolus paru.
B. Saran
Hendaknya pasien dalam scenario didorong untuk melakukan pemeriksaan penunjang guna mendukung penegakan diagnosis penyakit paru yang diderita.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood, Abdul Mukty. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan 3. Surabaya: Airlangga University Press, hal: 15-56
Amin, Zulkifli. 2007. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan Sistem Pernapasan, Dalam: Sudoyo Aru W et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Cetakan 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal: 959-963
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 480-489
Dorland, W.A.Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland . Edisi 29. Jakarta:EGC
Forinsik, 2004. Catatan Kuliah IPD-Paru. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Marey Surakarta, hal: 4-11
Guyton, Arthur C. , John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 610-611
Kabat. 2004. Asma Bronkial, Dalam: Hood Alsagaff, M.Jusuf Wibisono, Winariani (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Cetakan 1. Surabaya: Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga, hal: 41-50
Maitra, Anirban, Vinay Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas, Dalam : Stanley L.Robbins, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedoketeran EGC, Hal: 510-515
Reviono et al. 2008. Ketrampilan Pemeriksaan Fisik Sistem Respirasi. Surakarta: Skills Lab Universitas Sebelas Maret Surakarta, hal: 15
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 622-635
Wilson, Lorraine M. 2005. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan, Dalam: Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 773-779

Senin, 01 Desember 2008

MIASTENIA GRAVIS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saraf perifer, taut neuromuskular, dan otot rangka merupakan komponen akhir neuron motorik perifer. Penyakit yang mengenai struktur-struktur ini dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan otot. Sedangkan secara spesifik, kelemahan otot terbagi menjadi tiga macam yaitu:
- Penyakit neurologik yang mengenai neuron motorik atas atau bawah. Paralisis neuron motorik bawah ditandai dengan atrofi otot dan hilangnya refleks tendon dan secara klinis penyakit ini menyerupai otot primer. Sedangkan paralisis neuron motorik atas menyebabkan spastisitas dan refleks cepat tanpa atrofi otot yang signifikan
-
Kegagalan transmisi neuromuskuler
- Penyakit yang mengenai otot rangka itu sendiri, antara lain miositis, distrofi dan miopati. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
Salah satu penyakit kelemahan otot yang sering dijumpai dalam klinis adalah gangguan transmisi neuromuskuler myasthenia gravis. Myasthenia Gravis adalah penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan cepat otot volunter dan waktu penyembuhan yang lama. Myathenia gravis merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh gangguan transmisi neuromuskuler asetilkolin pada membran postsinaps. Pada kasus ringan, myasthenia menyebabkan kelemahan otot-otot pada mata dan menimbulkan ptosis. Sedangkan pada moderate kasus, myasthenia menyebabkan kesulitan berbicara, mengunyah, menelan, bernafas, dan kelemahan pada anggota gerak badan. (Hartwig, 2005)
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit kelemahan otot yang ditimbulkan oleh reaksi autoimun. Dari penelitian yang telah dilakukan pada penderita miastenia, ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Defisiensi ini disebabkan oleh timbulnya antibodi terhadap AchR. Sehingga, terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi, spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis saat ini telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh. (Dewabenny, 2008)
Myasthenia gravis dapat terjadi pada berbagai usia. Prevalensi penyakit ini diperkirakan 14 per 100.000 populasi, dengan 36.000 kasus terjadi di Amerika Serikat. Puncak usia awitan adalah 20 tahun, dengan rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 3:1. Puncak kedua walaupun lebih rendah daripada yang pertama, terjadi pada laki-laki tua usia dalam dekade tujuh puluhan atau delapan puluhan. (Hartwig, 2005)
B. Rumusan Masalah
Seorang wanita umur 25 tahun datang di RS dengan keluhan beberapa bulan ini mengeluh kelemahan pada otot, apabila melakukan kegiatan anggota gerak cepat capai, kelopak mata sulit dibuka, bila melihat cepat capai dan pandangan menjadi double. Dan semua keluahn tersebut semakin memberat waktu sore hari. Pada pagi hari, terutama setelah bangun tidur keluhan tersebut hilang atau berkurang. Dalam beberapa minggu ini keluhan semakin bertambah, anggota gerak semakin capai dan cepat membaik setelah istirahat, bila berbicara semakin lemah. Belum mengeluh perasaan tidak enak di dada atau sesak nafas, tidak ada gangguan sensibilitas dan gerakan abnormal. Tidak ditemukan juga keluhan ini dalam keluarganya. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan bahwa hasil pemeriksaan elektrolit darah dalam batas normal, hasil pemeriksaan EMG dengan merangsang salah satu saraf secara terus menerus ditemukan penurunan reaksi abnormal, dan tes endorphonium positif. Dokter menjelaskan kelainannya pada motor end plate sehingga diberikan obat prostigmin dan keluhan berkurang.
1. Bagaimana anatomi, fisiologi neuromuscular junction, fisiologi dan histologi otot lurik?
2. Bagaimana penegakkan diagnosis dan apa penyakit pasien?
3. Bagaimana patofisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien?
4. Apakah kelainan yang diderita pasien bersifat progresif?
5. Apakah penyakit pasien bersifat kongenital?
6. Mengapa keluhan yang dialami memberat pada sore hari dan berkurang setelah istirahat?
7. Akankah di kemudian hari pasien akan mengalami sesak napas? mengapa?
8. Mengapa pemeriksaan penunjangnya dipilih elektrolit darah, tensilon test, dan EMG? Apakah ada pemeriksaan lain?
9. Bagaimana interpretasi hasil dari EMG ?
10. Apakah pemberian prostigmin memberi prognosis yang baik? Bagaimana farmakokinetik, farmakodinamik, dan indikasi pengobatan?
11. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosisnya?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip ilmu-ilmu biomedik, klinik, perilaku, epidemiologi, dan kesehatan masyarakat pada problem klinik serta penatalaksanaan pasien penyakit dalam bidang muskuloskeletal.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar yang relevan untuk memahami etiologi, patofisiologi, dan patogenesis mengenai gangguan muskuloskeletal
2. Menangani suatu permasalahan klinis secara mandiri dengan kemampuan menetapkan diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
3. Mampu menjelaskan secara rasional dan ilmiah dalam menentukan penanganan pasien baik klinik, epidemiologis, farmakologis, fisiologis, dan perubahan perilaku
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai upaya memahami dasar homeostatis tubuh dari tingkat sel hingga sistem organ tubuh.
2. Sebagai upaya memahami mekanisme gangguan pada penghantaran sel dan motor end plate
3. Sebagai langkah upaya dalam memahami etiologi dan menifestasi klinis myasthenia gravis
4. Untuk memahami langkah-langkah dalam penegakan diagnosis, pemeriksaan penunjang dan pengobatan yang terkait dengan myasthenia gravis


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Histologi dan Fisiologi Neurmoscular Junction
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction. Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma di bagian terminal, namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yan terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate). Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, sekitar 125 kantong asetilkolin akan dilepaskan dari terminal bub masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik. Secara biokimiawi keseluruhan, proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu: (Ngoerah, 1991; Howard, 2008)
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisis reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin → Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian diinkorporasikan/ disatukan ke dalam partikel kecil terikat membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel tersebut.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Jika 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Jika saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisis reaksi berikut:
Asetilkolin + H¬¬2O → Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin. (Murray et al, 2003)
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot. (Murray et al, 2003)
B. Histologi dan Fisiologi Otot Lurik
Pada penampang membujur, otot serat lintang (otot lurik) mempunyai garis-garis atau pita-pita melintang secara bergantian antara gelap terang. Pita yang gelap disebut pita A (anisotrop) yang tersusun dari filament tebal yang masih disertai sedikit filament tipis yang overlapping, sedangkan pita yang terang disebut pita I (Isotrop) yang tersusun dari filament tipis. Di tengah-tengah pita I terdapat satu pita tipis gelap yang disebur garis Z. Bagian dari serat otot yang dibatasi oleh garis Z yang berurutan disebut dengan sarkomer. Di tengah-tengah pita A masih terdapat satu garis terang yang disebut garis H, yang hanya tersusun atas filament tebal saja. Setiap filament tebal terdiri dari beberapa ratus molekul miosin yang terkemas dalam susunan tertentu. Miosin adalah suatu protein yang terdiri dari dua subidentik dengan masing-masing berbentuk seperti tongkat golf. Ekor dari miosisn berorientasi kearah bagian tengah filament, sedangkan kepala globulernya menonjol keluar membentuk jembatan silang antara filament tebal dan tipis. Setiap jembatan silang memiliki dua tempat penting untuk proses kontraktil, yaitu tempat pengikatan aktin (actin binding site) dan tempat ATPase miosin (Myosin ATPase site). (Sherwood, 2001)
Filamen tipis terdiri dari tiga protein: aktin, tropomiosin, dan troponin. Tulang punggung filament tipis dibentuk oleh molekul-molekul aktin yang menyatu membentuk dua untaian yang saling berjalin dan membelit satu sama lain. Setiap molekul aktin memiliki tempat pengikatan khusus untuk melekat dengan jembatan silang miosin. Pengikatan molekul aktin dan miosin di jembatan silang menghasilkan kontraksi serat otot yang mengonsumsi energi. Dengan demikian, protein aktin dan miosin disebut dengan protein kontraktil. Saat relaksasi, aktin tidak bisa berikatan dengan miosin karena dihalangi oleh molekul tropomiosin dan dan troponin. Tropomiosin adalah protein berbentuk seperti benang yang terletak di sepanjang yang terletak di sepanjang alur spiral aktin bersambungan ujung ke ujung. Dan dalam posisi menghambat ini, troponin distabilisasi oleh troponin, yang akan berikatan dengan ujung-ujung setiap molekul tropomiosin. Troponin adalah suatu kompleks protein yang terdiri dari tiga jenis unit polipeptida: polipeptida T berikatan dengan tropomiosin, polipeptida I mengikat aktin, dan polipeptida C berikatan dengan Ca2+. Tropomiosin dan triponin sering disebut sebagai protein regulator karena peran mereka dalam menutupi (mencegah kontraksi) atau memajankan (memungkinkan kontraksi) tempat-tempat pengikatan untuk interaksi jembatan silang antara aktin dan miosin. Adapun mekanisme kontraksi otot adalah: (Sherwood, 2001)
- Asetilkolin yang dikeluarkan dari ujung terminal neuron motorik mengawali potensial aksi di sel otot yang merambat ke seluruh permukaan membran. Dan aktivitas listrik ini dibawa ke bagian tengah otot oleh tubulus T
- Penyebaran potensial aksi di tubulus T mencetuskan pelepasan simpanan Ca2+ dari kantung-kantung lateral retikulum sarkoplasmik didekat tubulus.
- Ca2+ yang dilepaskan akan berikatan dengan troponin, sehingga kompleks troponin-tropomiosin secara fisik tergeser ke samping, membuka tempat pengikatan jembatan silang aktin.
- Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang miosin, yang sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi ADP + Pi +energi oleh ATPase miosin
- Pengikatan aktin dan miosin menyebabkan jembatan silang menekuk, menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filamen tipis ke arah dalam. Pergeseran ke arah dalam dari semua filamen tipis akan memperpendek sarkomer. Dan selama gerakan mengayun kuat tersebut, ADP dan Pi dibebaskan dari jembatan silang
- Perlekatan ATP baru memungkinkan terlepasnya jembatan silang dan Ca2+ akan terdorong masuk kembali ke retikulum sarkoplasmik. Namun, penguraian ATP dan pengikatan Ca2+ berulang akan mengulangi ikatan jembatan silang ini. (Sherwood, 2001)

C. Myasthenia Gravis
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
Miastenia gravis ditandai dengan kelemahan otot yang secara tipikal diperberat dengan adanya kontraksi berulang. Pada 90% pasien gejala awal melibatkan otot olukar yang menyebabkan diplopia dan ptosis. Selain itu, otot wajah, laring, dan faring juga sering terlibat dalam mistenia gravis. Keterlibatan ini dapat mengakibatkan regugirtasi melalui hidung ketika berusaha menelan (otot palatum); bicara hidung yang abnormal; dan tidak dapat menutup mulut (hanging jaw sign). Otot pernafasan juga dapat terlibat dalam penyakit ini. Keterlibatan ini ditandai dengan adanya batuk lemah, serangan dispnea, dan ketidakmampuan pasien untuk membersihkan mukus dari cabang trakheobronkial. (Hartwig, 2005) . Klasifikasi myasthenia gravis yaitu :
1. Myasthenia okuler (I)
2. Myasthenia umum (II)
a. Myasthenia umum derajat ringan (II A): progesivitasnya lambat, tidak terjadi krisis, dan respon terhadap obat baik.
b. Myasthenia umum derajat sedang (II B) : terjadi kelemahan pada otot skeletal dan bulber, tidak terjadi krisis, tetapi respon terhadap obat kurang memuaskan.
3. Myasthenia fulminasi akut (III) : gejala memberat dengan sangat cepat, terjadi krisis pernafasan, respon terhadap obat sangat buruk, sering ditemukan adanya timoma, mortalitas tinggi.
4. Myasthenia berat yang sedang berkembang lamban (IV) : klinis seperti golongan III, tetapi memerlukan waktu lebih dari dua tahun untuk beralih dari golongan I atau II.
Diagnosis klinis miastenia gravis dapat dipastikan dengan uji terapeutik, EMG, dan uji serologik.
a. Endrofonium (Tensilon) test, yaitu tes dengan pemberian obat antikolinesterase kerja singkat yang menghasilkan perbaiakn segera pada kelemahan otot bila diberikan secara intravena.
b. Uji Kinin, merupakan uji dimana diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Pada miastenia gravis, gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
c. EMG (Elektromiografi), alat tes uji dengan mempelajari aktivitas listrik yang timbul pada otot sewaktu istirahat dan sewaktu kontraksi. Pada penderita miastenia gravis terlihat penurunan progresif amplitudo potensial aksi otot ketika pasien melakukan kontraksi volunter berulang.
d. Pemeriksaan serum untuk antibodi reseptor asetilkolin, merupakan uji yang sangat baik karena bersifat spesifik terdapat pada 80% pasien miastenia gravis. Uji yang positif bersifat diagnostik untuk penyakit miastenia gravis. Dan titer antibodi yang tinggi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
D. Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome
Sindrom miastenik merupakan sindrom paraneoplastik yang berkaitan dengan kanker, terutama karsinoma sel kecil paru. Sindrom miastenik sangat jarang terjadi pada pasien tanpa kanker. Sindrom miastenik terjadi akibat kelainan pelepasan asetilkolin oleh ujung saraf pada lempeng akhir motorik yang disebabkan oleh autoantibodi pada saluran kalsium di terminal saraf motorik. Sindrom ini secara klinis ditandai dengan kelemahan otot yang sama dengan mistenia gravis, yaitu mengenai otot mata. Namun kelemahan otot tidak diperberat oleh usaha. Selain itu, pada elektromiografi menunjukkan peningkatan progresif amplitudo potensial aksi pada kontraksi berulang (efek yang berlawanan dengan mistenia gravis). (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
E. Pengobatan Myasthenia Gravis
1. Terapi jangka pendek untuk Intervensi keadaan akut
a. Plasma Exchange, efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative.
b. Intravenous Immunoglobulin, merupakan produk dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.
c. Intravenous Methylprednisolone (IVMp),
2. Pengobatan Farmakologi jangka panjang
a. Kortikosteroid, memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Dan pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya. Tapi, obat ini diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
b. Azathioprine, biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi
c. Cyclosporine, berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi
d. Cyclophosphamide, merupakan suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
3. Timektomi (terapi bedah)
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam kasus di skenario, disebutkan bahwa pasien mengalami kelemahan otot. Kelemahan otot ini tergolong dalam kelemahan pada LMN (lower motor neuron) yang melanda segenap bagian perifer susunan neuromuskular. Susunan neuromuskuler ini tersusun oleh motoneuron yang membentuk inti motorik saraf kranial dan inti motorik di kornu anterior medula spinalis, motor end plate, serta otot skeletal di bagian efektornya. Karena dalam skenario disebutkan bahwa penderita mengalami gangguan pada motor end plate, maka kemungkinan besar kelainan yang diderita berawal dari abnormalitas neuromuscular junction. Selain itu, dari berbagai pemeriksaan fisik yang telah dilakukan dan pemeriksaan penunjang (seperti EMG dan endorphonium test) maka dapat disimpulkan bahwa pasien menderita miastenia gravis.
Miastenia gravis merupakan gangguan neuromuskular junction yang disebabkan oleh gangguan transmisi asetilkolin (Ach) untuk berikatan dengan reseptornya di permukaan membran sel otot. Kelainan ini disebabkan oleh terbentuknya antibodi berupa IgG yang nantinya akan berikatan secara inhibitor kompetitif pada reseptor asetilkolin (AchR). Adanya antibodi yang terikat ini nantinya akan menyebabkan lisis fokal yang ditandai dengan rusaknya reseptor. Reseptor yang rusak akan mempercepat proses turn over dan mengurangi jumlahnya pada permukaan membran sel. Mekanisme pembentukan antibodi terhadap reseptor Ach ini masih belum dimengerti. Namun, mekanisme ini tergolong dalam proses autoantibodi tipe II (reaksi kompleks imun). Selain itu, antibodi yang terbentuk (IgG) dapat melewati plasenta. Sehingga, kelainan miastenia gravis dapat ditularkan secara kongenital dari ibu yang menderita miastenia gravis.
Pada miastenia gravis, gangguan yang terjadi terletak pada bagian membran post sinaptik. Gangguan ini menyebabkan asetilkolin tidak akan berikatan dengan reseptor sehingga asetilkolin akan terlihat “berenang” didalam celah sinaptik. Kondisi asetilkolin bebas ini akan memudahkan asetilkolin dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase. Sehingga, jumlah asetilkolin yang terikat reseptor akan semakin sedikit dan hal ini menimbulkan depolarisasi membran sel otot yang sifatnya tidak sekuat normal. Depolarisasi berjenjang sel otot akan semakin menurun jumlahnya sehingga nantinya akan bermanifes pada kelemahan otot dalam kontraksi.
Kelainan miastenia gravis ditandai pada kelemahan otot-otot volunter. Pada awalnya gejala ini timbul pada serat otot dengan satuan motorik terkecil seperti otot-otot penggerak bola mata. Dan seringkali kelainan ini menyerang otot yang dipersarafi nervvus kranial. Pada skenario, penderita mengalami keluhan berupa kelopak mata sulit dibuka serta bila melihat cepat capai dan tampak double. Hal ini disebabkan oleh kelemahan otot-otot pada kelopak mata yaitu m. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak, yang berfungsi dalam menutup bola mata yang dipersarafi n. VII. Sedangkan m. levator palpebra yang dipersarafi oleh n. III berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.
Selain itu, kelemahan akibat gangguan neurotransmiter ini juga terjadi di berbagai otot volunter tubuh. Kelemahan otot penyangga leher, nantinya akan bermanifes pada kesulitan menegakkan kepala, gangguan pada otot menelan bulbair ditandai dengan kesulitan menelan dan suara yang makin melemah. Sedangkan kelemahan otot-otot ekstremitas ditandai dengan kelemahan yang bersifat layuh (misalnya bila mengangkat tangan selama 2-3 menit, tangan akan semakin menurun).
Keluhan pada miastenia gravis ini semakin memburuk pada sore hari dan membaik setelah istirahat karena hal ini terkait dengan penggunaan ATP dan perangsangan yang timbul. Miastenia gravis merupakan kelainan yang bermanifes pada otot volunter/ otot skelet. Dan otot skelet ini diinervasi pada persarafan somatik yang timbul oleh adanya rangsangan eksitatorik di otak. Pada keadaan istirahat dan tidur, tidak ada rangsangan yang timbul sehingga produksi asetilkolin berjumlah banyak tersimpan dalam vesikel. Dan pada saat memulai aktivitas (rangsangan aksi awal), asetilkolin yang berikatan dengan reseptornya masih dalam kadar yang cukup banyak sehingga mampu menimbulkan depolarisasi membran dalam jumlah cukup. Namun, lama kelamaan keadaan ini tidak akan terkompensasi dengan semakin lamanya aktivitas yang dicetuskan karena terkait pada jumlah reseptor Ach yang semakin sedikit dan Ach yang banyak dihidrolisis.
Miastenia gravis merupakan penyakit yang bersifat progresif. Baik progresif lambat ataupun cepat, tergantung pada kondisi autoimun yang diderita. Akibatnya, keluhan yang dialami semakin lama akan makin berat. Pada kasus di skenario, penderita belum mengalami sesak nafas/ perasaan tidak enak di dada. Dalam hal ini, penderita masih belum mengalami gangguan pernafasan yang nantinya dapat menimbulkan krisis miastenik. Dan bila sudah timbul kondisi ini, maka penderita sudah berada dalam kondisi kritis yang memerlukan penanganan secepat mungkin.
Dalam miastenia gravis, pemeriksaan darah menunjukkan hasil normal karena tidak terjadi kenaikan kadar kreatin kinase. Kadar kreatin kinase ini biasanya timbul bila terjadi kerusakan otot sedangkan pada miastenia, tidak timbul kerusakan otot melainkan gangguan pada neurotransmiternya. Sehingga, otot pada pasien miastenia tampak normal. Akan tetapi, bila otot pasien yang mengalami kelemahan tidak digunakan, lama kelamaan akan timbul disuse atrophy.
Sebenarnya, gangguan pada neurotransmiter dapat ditemukan pada myathenia gravis dan sindrom Eaton-Lambert. Pada myasthenia gravis, asetilkolin tidak dapat diterima oleh reseptor pada membran postsinaptik karena antibodi telah menduduki reseptor itu. Pada sindrom Eaton-Lambert, asetilkolin di dalam gelembung presinaptik tidak dapat dituangkan (eksositosis) di celah sinaptik karena membran presinaptiknya terganggu oleh adanya antibodi pada kanal kalsium.
Penanganan miastenia gravis dapat dilakukan dengan terapi farmakologik berupa pemberian obat imunosupresif, kortikosteroid ataupun obat antikolinesterase. Selain itu, dapat pula dilakukan operasi pengangkatan timus karean sekitar 15% penderita miastenia gravis mengalami hiperplasia kelenjar timus (timoma). Obat antikolinesterase memiliki spektrum kerja dalam menghambat efek kerja enzim asetilkolinesterase (enzim yang terlibat dalam penguraian asetilkolin/ Ach). Obat ini akan secara efektif meningkatkan konsentrasi Ach pada motor end plate dan memperpanjang masa kerjanya. Telah diketahui bahwa kerusakan reseptor karena antibodi bersifat reversibel, sehingga terjadi pengurangan jumlah reseptor dalam satu permukaan membran sel otot. Namun, dengan penggunaan obat antikolinesterase, Ach akan tidak langsung dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterae. Sehingga, Ach yang berada dalam celah sinaps akan memiliki waktu paruh panjang dalam menemukan reseptor yang sehat (tidak terikat antibodi) dan nantinya menimbulkan pembukaan saluran Na-K.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pada penderita myasthenia gravis sesudah mendapat pengobatan antikolinesterase yaitu krisis miastenik yang timbul karena underdose obat antiasetilkolinesterase sehingga gejala-gejala lebih memburuk, biasanya terjadi karena gangguan resorpsi obat antiasetilkolinesterase atau karena infeksi berat. Selain itu, dapat juga terjadi krisis kolinergik yang timbul karena obat antikolinesterase yang merusak sinaps sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja lagi sebagai neurotransmiter.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penderita dalam skenario menderita miastenia gravis dan belum mengalami krisis miastenik sehingga prognosisnya baik bila diberikan penaganan terpeutik yang tepat.
2. Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas
3. Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B nantinya akan melawan reseptor asetilkolin
B. Saran
1. Hendaknya dilakukan terapi awal berupa pemberian obat-obat farmakologik berupa obat antikolienesterase seperti prostigmin atau neostigmin. Selain itu, kortikosteroid atau obat imunosupresif juga dapat diberikan tetapi harus dalam kadar tepat mengingat efek samping yang ditimbulkan.
2. Diharapkan pasien memperbanyak istirahat namun juga tidak boleh dilakukan penghentian aktivitas total karena nantinya dapat menimbulkan disuse atrofi.
DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2007. Miastenia Gravis. http://medlinux.blogspot.com/2007/10/miastenia-gravis-myasthenia-gravis.html (20 November 2008)
Burns, Dennis K. Vinay Kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal, Dalam : Stanley L.Robbins, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedoketeran EGC, Hal: 870-871
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/2008/07/12/miastenia-gravis/ (20 November 2008)
Dorland, W.A.Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland . Edisi 29. Jakarta:EGC
Hartwig, Mary S. 2005. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi Generalisata. dalam: Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 1148-1151
Howard, J.F. 2008. Myasthenia Gravis, a Summary. http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia gravis/detail_myasthenia gravis.htm (20 November 2008)
Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia Gravis. http://cetrione.blogspot.com/2008/06/miastenia-gravis.html (20 November 2008)
Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC, hal : 791-794
Ngoerah, I. G. N. G. 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press, hal: 301-305
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 207-221