Sabtu, 13 Desember 2008

GANGGUAN PARU

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fungsi utama paru adalah mengeluarkan karbon dioksida dari darah dan mengganti oksigen. Dinding dada dan diafragma berfungsi sebagai pompa untuk menggerakkan udara masuk-keluar paru sehingga dapat terjadi pertukaran gas di sepanjang membran alveolokapiler. Sehingga, kesempatan timbulnya penyakit di sistem oragan penting ini sangat banyak. Pendekatan yang lazim dalam studi tentang patologi paru, adalah dengan mengelompokkan panyakit paru menjadi penyakit yang mengenai saluran napas, interstitium, dan sistem vaskular paru. Pembagian menjadi kompartemen terpisah ini, jelas bersifat artifisial karena dalam kenyataannya, penyakit pada satu kompartemen umumnya disertai perubahan morfologi dan fungsi pada kompartemen yang lain. (Maitra dan Kumar, 2007)
Paru sebagai organ dengan permukaan yang luas, aliran darah yang cepat dan epitel alveolar yang tipis merupakan tempat kontak yang penting dengan substansi yang berasal dari lingkungan. Penyakit paru yang ada saat ini dapat disebabkan oleh banyak factor. Dan salah satu perhatian atas dampak pajanan bahan-bahan berbahaya di tempat kerja dan lingkungan terhadap kesehatan sejak beberapa dekade terakhir tampak makin meningkat karena peranannya terhadap gangguan fungsi paru. Penyakit paru kerja penting dikenali karena disebabkan oleh paparan debu, asap, atau zat-zat kimia yang nantinya dapat menggangu fungsi normal paru. Pajanan bahan berbahaya di tempat kerja dapat menyebabkan atau memperburuk penyakit seperti asma, bronkiektasis, Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), kanker paru, dermatitis atau tuberkulosis. Diperkirakan jumlah kasus baru penyakit akibat kerja dan paparan alergen di Amerika Serikat 125.000 sampai 350.000 kasus pertahun dan terjadi 5,3 juta kecelakaan kerja pertahun. Selain disebabkan oleh pajanan lingkungan, penyakit paru juga dapat ditimbulkan oleh infeksi berbagai mikroorganisme dan virus. (Wahyuningsih et al, 2003)
Pada umumnya, penyakit paru dapat menimbulkan tanda-tanda dan gejala umum maupun tanda dan gejala pernapasan. Tanda dan gejala pernapasan mencakup batuk, sputum yang berlebihan, atau abnormal, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada. Sedangkan yang termasuk tanda dan gejala umum adalah sianosis, jari tabuh, dan osteoartropati hipertrofik, serta manifestasi lain yang berkaitan dengan pertukaran gas yang tidak adekuat. (Wilson, 2005)
B. Rumusan Masalah
Permasalahan Utama
Seorang perempuan 20 tahun merasakan batuk yang tidak berkurang sejak 3 hari yang lalu. Batuk yang dirasakan mula-mula tidak disertai dahak, akan tetapi sejak tadi pagi mulai batuk berdahak, bahkan sekarang mendadak menjadi sesak napas. Selain itu, penderita juga mengalami demam. Sebelumnya penderita membersihkan rak-rak buku lama ayahnya yang penuh dengan debu. Penderita segera datang ke dokter keluarganya, disana dokter memeriksa pasien untuk mendapatkan gejala dan tanda respirasi lainnya. Pada pemeriksaan auskultasi penderita ditemukan wheezing yang jelas. Dokter tersebut ingat, kakak penderita juga menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen toraksnya menunjukkan gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Selanjutnya dokter memberi obat pada penderita tersebut 2 macam obat yang berbeda fungsinya.
Permasalahan Sekunder
1. Bagaimana anatomi, dan fisiologi dari sistem pernafasan?
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya batuk, dahak, sesak napas, demam dan wheezing?
3. Mengapa batuk yang awalnya tidak berdahak bisa menjadi batuk berdahak dan sesak napas?
4. Apa penyakit yang sebenarnya diderita oleh pasien ?
5. Apakah terdapat keterkaitan antara penyakit pasien dengan penyakit kakaknya?
6. Apakah batuk yang diderita pasien disebabkan oleh debu?
7. Apa penyakit kronik yang diderita kakak pasien?
8. Bagaimana mekanisme timbulnya honeycomb appearance? Penyakit apa saja yang terkait?
9. 2 macam obat apa yang diberikan dokter pada pasien?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip ilmu-ilmu biomedik, klinik, perilaku, epidemiologi, dan kesehatan masyarakat pada problem klinik serta penatalaksanaan pasien penyakit dalam bidang pulmonologi dan sistem respirasi
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar yang relevan untuk memahami etiologi, patofisiologi, dan patogenesis mengenai gangguan respirasi
2. Menangani suatu permasalahan klinis secara mandiri dengan kemampuan menetapkan diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
3. Mampu menjelaskan secara rasional dan ilmiah dalam menentukan penanganan pasien baik klinik, epidemiologis, farmakologis, fisiologis, dan perubahan perilaku
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai upaya memahami dasar homeostatis tubuh dari tingkat sel hingga sistem organ tubuh.
2. Sebagai upaya memahami mekanisme terjadinya gangguan respirasi seperti timbulnya batuk, sesak nafas, dan wheezing
3. Sebagai langkah upaya dalam memahami etiologi dan menifestasi klinis gangguan respirasi
4. Untuk memahami langkah-langkah dalam penegakan diagnosis, pemeriksaan penunjang dan pengobatan yang terkait dengan gangguan respirasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan
1. Anatomi Sistem Pernapasan
a. Jalan Napas
Jalan napas atau sistem konduksi terdiri atas rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus berfungsi menghantarkan udara dari atmosfer ke dalam alveolus. Bronkus terbagi secara dikotomi, lambat laun mengecil dan berdinding lebih tipis pada saat udara melintas dari hilum menuju perifer. Bila dinding-dinding tersebut sudah tidak bertulang rawan, jalan napas ini dinamakan bronkiolus. Bronkiolus berdiameter 2 mm, memiliki dinding-dinding otot polos, dan berakhir pada alveolus. Epitel pelapis adalah kolumner bersilia di dalam jalan napas besar dan kuboid bersilia di dalam bronkiolus distal. Sel-sel goblet penghasil mukus juga ada, khususnya di dalam bronkus besar. Sebaran sel-sel granul kecil juga terdapat pada membran basal diantara sel-sel epitel dalam bronkus. Sel-sel ini merupakan sel neuroendokrin yang mengandung serotonin, bombesin, dan polipeptida lainnya. Sel-sel klara kecil berbentuk kubah di dalam bronkiolus terminal menyekresi protein yang melapisi jalan napas kecil. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
b. Parenkim paru
Terdapat dua unit parenakim paru yaitu lobulus paru dan asinus paru. Lobulus paru ditunjukkan oleh struktur yang berasal dari bronkiolus kecil terdiri atas 5-7 bronkiolus terminal dan struktur-struktur yang lebih distal. Sedangkan asinus paru merupakan struktur yang muncul dari bronkiolus terminal tunggal dan terdiri atas bronkiolus respiratorik dan alveolus. Bronkiolus respiratorik dilapisi oleh epitel kuboid yang ikut berperan dalam pertukaran gas. Bronkiolus respiratoris tersebut menuju ke dalam duktus alveolus. Sakus alveolus timbul sebagai kantung-kantung luar sakular dari duktus alveolus dan bronkiolus respiratorik. Dinding alveolus memiliki tebal 5-10 mikron dan dilapisi oleh sel pneumosit tipe II yang merupakan penghasil surfaktan dan berproliferasi cepat bila terjadi cedera alveolus. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
c. Pleura
Paru dikelilingi oleh sel-sel mesotel yang membentuk pleura visceralis dan nantinya akan bersambung dengan batas dalam dinding dada (pleura parietalis) pada hilum paru. Rongga pleura dilumasi oleh lapisan tipis cairan pleura yang memungkinkan gerakan paru sesuai dinding dada.
d. Pasokan darah
Paru memiliki pasokan darah ganda. Cabang-cabang arteriola bronkus mengikuti pohon bronkus dan memiliki fungsi nutritif. Arteri paru terbagi untuk menghasilkan jejaring kapiler, suatu fungsi primer tempat terjadinya pertukaran gas.
2. Fisiologi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan atau sistem respirasi memiliki peran/ fungsi untuk menyediakan oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbon dioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi penyediaan oksigen adalah sebagai sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok terus menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus segera dikeluarkan dari tubuh. CO2 ini bila tertumpuk dalam darah akan menurunkan pH sehingga menimbulkan keadaan asidosis yang dapat mengganggu faal badan bahkan dapat menyebabkan kematian. Proses respirasi berlangsung beberapa tahap yaitu:
a. Ventilasi, merupakan proses pergerakan udara kedalam dan keluar paru. Proses ini terdiri atas inspirasi dan ekspirasi.
- Inspirasi
Inspirasi yaitu pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Inspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan udara luar. Dan tekanan ini berkisar antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Proses ini diawali dengan kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna. Kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan rongga toraks mengembang dan volume rongga membesar. Akibatnya, tekanan intra pleura menurun dan paru mengembang. Karena pada inspirasi, terjadi penurunan tekanan intraalveol, maka udara di atmosfer akan masuk ke dalam paru.
- Ekspirasi
Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru. Ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi dari tekanan udara luar. Ekspirasi merupakan suatu proses pasif yang disebabkan oleh sifat elastisitas dinding dada dan elastic coil paru. Proses ini diawali dengan relaksasi otot diafragma dan kontraksi otot interkostalis interna. Hal ini akan menyebabkan volume rongga toraks mengecil. Akibatnya, tekanan intra pleura meningkat dan paru mengecil. Karena pada ekspirasi, terjadi peningkatan tekanan intraalveol, maka udara dalam paru bergerak keluar paru.
b. Pernapasan Luar, merupakan proses pertukaran gas di dalam alveol dan darah
c. Transportasi gas dalam darah
d. Pernapasan Dalam, merupakan proses pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan
e. Pernapasan Seluler, merupakan proses metabolisme penggunaan oksigen didalam sel serta pembuatan karbondioksida
B. Manifestasi Penyakit Paru
1. Manifestasi Pulmoner
Berupa keluhan atau tanda penyakit, baik akibat langsung (primer) maupun akibat tidak langsung (sekunder) dari proses yang ada di paru. Manifestasi ini dapat berupa:
a. Manifestasi pulmoner primer, merupakan keluhan/ tanda yang ditimbulkan langsung oleh proses setempat.
- Keluhan, merupakan ha-hal yang dirasakan oleh penderita serta dapat disampaiakan pada dokter pada waktu melakukan anamnesa. Keluhan ini pada dasarnya dapat berupa batuk dengan atau tanpa dahak/ darah; sesak napas dengan/tanpa berbunyi; dan nyeri dada
- Tanda penyakit, merupakan perubahan-perubahan jaringan paru, pleura atau dinding dada yang ditimbulkan oleh penyakit yang dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik. Tanda penyakit meliputi perubahan pada bentuk/ besarnya toraks, pergerakan pernapasan, dan penghantaran getaran suara
b. Manifestasi pulmoner sekunder, merupakan perubahan akibat kelainan paru yang dapat menimbulkan gangguan dalam pertukaran gas, dan peningkatan pembuluh darah
2. Manifestasi ekstrapulmoner
Berupa perubahan-perubahan atau kelainan yang terjadi di luar paru akibat dari penyakit yang ada di paru
- Metastasis, merupakan penyebaran penyakit paru ke luar paru seperti kanker paru menyebar ke tulang, hati, otak, dan organ tubuh lainnya.
- Non metastasis, merupakan gejala sistemik yang dapat berupa gejala umum (panas, anoreksia, rasa lelah) dan gejala khusus (jari tabuh, osteoartropati).
C. Patofisiologi
1. Refleks Batuk
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi peradangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah. (Wilson, 2005)
Bronkus dan trakea memiliki respon yang sangat peka terhadap benda asing yang masuk ataupun iritasi di tempat tersebut sehingga dapat menimbulkan refleks batuk. Laring dan karina (tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus) sangat peka, dan bronkiolus terminalis serta alveolus terutama peka terhadap rangsang kimia korosif seperti gas sulfur dioksida dan klor. Impuls saraf aferen dari saluran pernapasan terutama berjalan melalui nervus vagus ke medulla oblongata. (Guyton dan Hall, 1997)
2. Sesak Napas
Sesak napas merupakan keluhan subjektif dari seorang yang menderita penyakit paru. Keluhan ini mempunyai jangkauan yang luas, sesuai dengan interpretasi seseorang mengenai arti sesak napas tadi. Pada dasarnya, sesak napas baru akan timbul bila kebutuhan ventilasi melebihi kemampuan tubuh untuk memenuhinya. Sedangkan kebutuhan ventilasi dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti aktivitas jasmani yang bertambah atau panas badan yang meningkat. Patofisiologi sesak napas akut dapat dibagi sebagai berikut:
- Oksigenasi jaringan menurun
- Kebutuhan oksigen meningkat
- Kerja pernapasan meningkat
- Rangsangan pada sistem saraf pusat
- Penyakit neuromuskuler
3. Wheezing
Wheezing merupakan suara napas tambahan yang bersifat continue, musical, nada tinggi, dan durasinya panjang. Wheezing dapat terjadi bila aliran udara secara cepat melewati saluran napas yang mendatar atau menyempit/ hampir tertutup. Wheezing secara umum disebabkan oleh obstruksi parsial atau penyempitan jalan napas. Wheezing yang terdengar menyeluruh di lapangan paru disebabkan oleh asma, bronkitis kronik, Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), dan penyakit jantung kongestif. Pada asma, wheezing hanya terdengar pada ekspirasi atau di antara dua fase siklus napas. Wheezing yang terdengar hanya pada lokasi tertentu menandakan terdapat obstruksi parsial pada bronkus, misalnya benda asing atau tumor. Wheezing ini bisa terjadi pada saat inspirasi, ekspirasi, atau keduanya. (Reviono et al, 2008)
D. Klasifikasi Penyakit dengan Manifestasi Klinis Honeycomb Appearance
1. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi abnormal dan tidak pulih pada pohon bronkial proksimal dari bronkiolus terminalis. Bronkiektasis terjadi akibat infeksi kronis yang menyebabkan kerusakan parenkim, fibrosis, dan dilatasi abnormal bronkus rusak yang permanen.
Bronkiektasis adalah penyakit batuk kronis, bisaanya menghasilkan sejumlah besar sputum berbau busuk, dan demam episodik. Infeksi kronis umumnya menyebakan jari tabuh dan hiperglobulinemia serta dapat menyebabkan amilosis sekunder.
Gambaran paru yang terkena bronkiektasis berupa bronkus dan bronkiolus yang berdilatasi dapat berbentuk silindris, fusiformis atau sakulardan menjadi lebih mencolok dengan adanya kerusakan ekstensif dan fibrosis pada parenkim paru yang terletak diantaranya (honeycomb apperance). Salah satu gambaran diagnostik penting lainnya adalah ditemukannya bronkus bear di dekat pleura. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
2. Penyakit Paru Interstitial Difus Kronis
Penyakit paru interstitial kronis adalah kelainan bukan infeksi yang dicirikan oleh radang difus dan fibrosis yang menyerang interstitium septum alveolus. Tahap akhir menyebabkan destruksi parenkim ekstensif, fibrosis, dan sering membentuk ruang kista abnormal (honeycomb appearance). Gambaran klinis pasien yang menderita penyakit ini akan mengalami dispnea, takipnea, dan sianosis. Abnormalitas fungsi paru bertipe restriktif, dengan berkurangnya kapsitas vital. Penebalan membran alveolus mempengaruhi difusi oksigen yang menyebabkan hipoksemia. Hal ini menstimulasi pusat pernafasan yang mengakibatkan peningkatan ventilasi.
E. Asma Bronkiale
Asma bronkial adalah penyakit yang meningkatkan responsivitas pohon trakeobronkial terhadap berbagia stimulus. Pajanan terhadap stimulus menyebabkan kontraksi otot polos bronkiolus (bronkospasme). Bronkospasme menyebabkan obstruksi aliran udara (maksimal pada ekspirasi) dan mengi bernada tinggi. Ekspirasi memanjang karena obstruksi aliran udara. Serangan asma bisaanya berlangsung singkat dan pulih sama sekali. Asma bronkial dicirikan oleh serangan episodik dispnea dan mengi. Batuk kering bisaanya terjadi selama serangan akut dan dapat menghasilkan sputum kental, lengket, sedikit, yang berserabut, membentuk silinder bronkiolus. Pada serangan berat sering terdapat infeksi bakteri sekunder.
Obstruksi bronkiolus pada asma disebabkan oleh kontraksi otot polos, sumbat mukus, dan edema peradangan yang akan bersifat maksimal pada saat ekspirasi. Hal ini menyebabkan jebakan udara distal dan distensi alveolus yang akan berakibat pada penurunan kapasitas vital respirasi. (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam kasus skenario, awal permasalahan terjadi ketika pasien 3 hari yang lalu membersihkan rak yang penuh debu dan mulai timbul batuk. Sehingga dalam hal ini, debu merupakan alergen yang nantinya akan menjadi antigen asing yang masuk dalam tubuh. Antigen (debu) ini bila ukuran partikelnya >5 mikrometer, akan ditangkap oleh vibrissae (rambut kasar) dalam rongga hidung. Namun, bila ukurannya 1-2 mikrometer, partikel tetap bisa masuk dalam saluran pernapasan dan nantinya akan terjerat pada silia di laring ataupun dalam trakea. Dan dalam hal ini, terdapat mekanisme refleks batuk yang bertujuan untuk mengeluarkan partikel asing yang berada dalam trakea/ laring (dimana kedua tempat tersebut bersifat sangat sensitif terhadap berbagai rangsangan luar yang masuk).
Pada trakea dan bronkus, selain terdapat silia juga ada mukus. Sekresi mukus ini dilakukan oleh sel-sel goblet yang melekat pada epitel pseudokompleks kolumner. Produksi mukus ini bermanfaat dalam melekatkan partikel-partikel asing halus yang masuk ke saluran napas bawah dan tidak bisa keluar melalui mekanisme batuk bisaa. Setelah partikel asing yang masuk terjerat dalam mukus, akan ada mekanisme lanjut berupa refleks batuk berdahak. Sehingga batuk berdahak merupakan refleks batuk yang disertai dengan pengeluaran sputum/ dahak yang berasal dari akumulasi mukus dengan lekosit polimorfonuklear (bila sudah timbul rekasi imunologis).
Secara umum, refleks batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi peradangan trakeobronkial. Mekanisme batuk diawali ketika terangsangnya reseptor saraf aferen yang akan meneruskan impuls menuju nervus vagus di medula oblongata. Dan rangsangan balik yang timbul berupa : Pertama, kira-kira 2,5 liter udara diinspirasi. Kedua, epiglottis menutup, dan pita suara menutup erat untuk menjerat udara di dalam paru-paru. Ketiga, otot perut berkontraksi dengan kuat mendorong diafragma, sedangkan otot-otot ekspirasi lainnya seperti interkostalis internus, juga berkontraksi dengan kuat. Akibatnya, tekanan dalam paru meningkat sampai 100 mm Hg atau lebih. Keempat, pita suara dengan epiglotis sekonyong-konyong terbuka lebar, sehingga udara bertekanan tinggi dalam paru meledak keluar. Selanjutnya, penekanan kuat pada paru yang menyebabkan bronkus dan trakea menjadi kolaps sehingga bagian yang tidak berkartilago ini kolaps berinvaginasi ke dalam, akibatnya udara yang meledak tersebut benar-benar mengalir melalui celah-celah bronkus dan trakea.
Pada kasus di skenario, debu yang masuk sudah mencapai saluran napas bagian bawah dan dianggap sebagai suatu antigen asing. Antigen ini nantinya akan memicu serangkaian reaksi imunologis seperti kemotaksis dan fagositosis lekosit polimorfonuklear ke tempat peradangan. Adanya reaksi peradangan/ inflamasi ini nantinya akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi yang bersifat endogen-pirogen, seperti IL-1 (interleukin 1) dan prostaglandin. Dan kedua mediator inflamasi inilah yang memegang peranan penting untuk meningkatkan pusat regulator termostat tubuh di hipotalamus. Sehingga, peningkatan termostat tubuh inilah yang menyebabkan timbulnya demam sistemik.
Selain itu, dalam kasus di skenario, penderita juga mengeluh mengalami sesak napas yang semakin lama makin terasa berat. Dalam hal ini, sesak napas yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, sesak napas dapat disebabkan oleh kebutuhan oksigen yang meningkat akibat reaksi demam yang juga diderita. Yang kedua, sesak napas dapat juga timbul akibat kerja pernapasan meningkat akibat peningkatan produksi CO2 yang nantinya akan memicu reaksi hiperventilasi sehingga akan berakibat pada peningkatan oksigen. Dan penyakit paru dengan sesak napas tipe ini adalah asma bronkial, bronkitis dan bronkiolitis.
Pada dasarnya, penegakan diagnosis penyakit paru memerlukan data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam kasus di skenario, diagnosis pasti belum bisa ditegakkan karena hal ini mulai bisa ditegakkan setelah pasien menjalani pemeriksaan lanjutan yang berupa pemeriksaan laboratorium seperti foto toraks, pemeriksaan sputum, dan lain sebagainya. Namun, dalam kasus di skenario terdapat dugaan bahwa penderita mengalami asma bronkial. Hal ini diperjelas dengan timbulnya batuk berdahak, sesak napas dan wheezing yang menandakan bahwa terjadi penyempitan saluran pernapasan.
Pada pemeriksaan fisik pasien, didapatkan adanya wheezing. Wheezing merupakan suara napas tambahan yang bersifat continue, musical, nada tinggi, dan durasinya panjang. Wheezing dapat terjadi bila aliran udara secara cepat melewati saluran napas yang mendatar atau menyempit/ hampir tertutup. Wheezing umumnya disebabkan oleh obstruksi saluran napas akibat timbunan mukus abnormal dari hasil reaksi inflamasi. Timbunan mukus ini disebabkan oleh reaksi mediator inflamasi serotonin terhadap sel goblet pada epitel kolumner. Sehingga, timbunan mukus ini nantinya akan menyebabkan sumbatan pada saluran napas bagian bawah (obstruksi). Dengan adanya hal ini, inpirasi pasien masih normal tetapi ekspirasi menjadi abnromal karena waktu ekpirasi memanjang akibat dorongan mukus yang tertimbun.
Dalam kasus di skenario, disebutkan bahwa dokter menyadari bahwa kakak pasien juga memiliki riwayat penyakit paru yang bersifat kronis. Penyakit paru yang diderita ini ditandai dengan timbulnya honeycomb apperance pada rontgen toraksnya tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Hal ini, menandakan bahwa kakak pasien memiliki kemungkinan untuk menderita penyakit bronkiektasis (termasuk penyakit obstruktif) atau penyakit paru interstitial difus kronik. Kedua penyakit diatas bersifat kronis yang ditandai dengan pemebntukan jaringan elastis paru menjadi jaringan fibrosa yang padat (honeycomb appearance). Pada bronkiektasis umumnya ditemukan wheezing karena penyakit ini tergolong dalam gangguan aliran udara paru. Sedangkan penyakit paru interstitial difus kronik, khususnya peneumonitis hipersensitifitas bisaanya tidak ditemukan wheezing. Dan penyakit ini tergolong dalam penyakit yang menyerang parenkim paru dan mengakibatkan paru kesulitan untuk mengembang (gangguan restriktif).
Sepertinya, antara penyakit yang diderita pasien dan kakak pasien tidak memiliki keterkaitan yang cukup jelas. Hal ini disebabkan oleh hasil pemeriksaan fisik yang cukup berlawanan (ada/ tidaknya wheezing). Namun, dugaan ini juga perlu diperjelas dalam pemeriksaan laboratorium terhadap pasien sendiri. Pada pasien dalam skenario, terdapat dugaan menderita gangguan obstruktif berupa asma bronkial. Pada dasarnya, asma merupakan suatu penyakit akibat reaksi alergi yang nantinya akan menimbulkan penyumbatan pada saluran napas. Asma bronkial pada dasarnya terbagi menjadi 3 tipe yaitu asma alergi ekstrinsik akibat reaksi hipersensitifitas tipe 1, asma intrinsik, dan asma campuran.
Dalam skenario, disebutkan bahwa dokter memberi 2 macam obat yang berbeda fungsinya. Obat ini memiliki makna yang bermacam-macam. Misalnya jika benar pasien menderita asma, dapat diberikan 2 macam obat yang mekanismenya sinergis meski secara fungsional efeknya saling berlawanan. Obat tersebut merupakan golongan adrenergik dan antikolinergik. Sedangkan dalam skenario, pemberian obat yang paling mungkin diberikan oleh dokter berupa obat antitusif dan ekspektoran. Obat antitusif bermanfaat dalam pendorongan rangsangan untuk mengeluarkan dahak. Sedangkan ekspektoran bermanfaat untuk menekan batuk. Sehingga, dari keduanya didapatkan bukti bahwa efek kedua obat saling berlawanan karena secara fisiologis penegeluaran dahak didorong lewat mekanisme batuk. Akan tetapi, secara farmakologis kedua obat tersebut bisa diberikan secara bersamaan dan memiliki efek farmakodinamik dan farmakokinetik yang efektif bila diberikan dengan dosis yang sesuai.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Diagnosis untuk pasien belum bisa ditegakkan secara pasti karena belum dilakukan pemeriksaan foto toraks atau pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan dahak mikroskopis).
2. Penegakan diagnosis penyakit paru selain memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, juga memerlukan pemeriksaan penunjang
3. Gangguan obstruktif merupakan gangguan yang terjadi pada proses aliran udara yang masuk ke paru. Umumnya gangguan ini terjadi pada bagian saluran pernapasan seperti laring, trakea atau bronkus.
4. Gangguan restriktif merupakan gangguan paru yang ditandai dengan ketidakmampuan paru untuk mengembang/ melakukan fungsinya secara optimal. Dan gangguan ini umumnya terjadi pada parenkim paru atau kolapsnya alveolus paru.
B. Saran
Hendaknya pasien dalam scenario didorong untuk melakukan pemeriksaan penunjang guna mendukung penegakan diagnosis penyakit paru yang diderita.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood, Abdul Mukty. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan 3. Surabaya: Airlangga University Press, hal: 15-56
Amin, Zulkifli. 2007. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan Sistem Pernapasan, Dalam: Sudoyo Aru W et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Cetakan 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal: 959-963
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 480-489
Dorland, W.A.Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland . Edisi 29. Jakarta:EGC
Forinsik, 2004. Catatan Kuliah IPD-Paru. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Marey Surakarta, hal: 4-11
Guyton, Arthur C. , John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 610-611
Kabat. 2004. Asma Bronkial, Dalam: Hood Alsagaff, M.Jusuf Wibisono, Winariani (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Cetakan 1. Surabaya: Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga, hal: 41-50
Maitra, Anirban, Vinay Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas, Dalam : Stanley L.Robbins, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedoketeran EGC, Hal: 510-515
Reviono et al. 2008. Ketrampilan Pemeriksaan Fisik Sistem Respirasi. Surakarta: Skills Lab Universitas Sebelas Maret Surakarta, hal: 15
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 622-635
Wilson, Lorraine M. 2005. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan, Dalam: Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 773-779

Tidak ada komentar:

Posting Komentar